Tuesday, August 26, 2008

Pewarna rambut dapat meningkatkan risiko limfoma

Kalbe.co.id - Sebuah studi baru menjelaskan bahwa penggunaan pewarna rambut dapat meningkatkan risiko tipe-tipe tertentu non-Hodgkin lymphoma (NHL), suatu kanker darah pada saluran limfa.

Para penyelidik menjelakan bahwa penggunaan pewarna rambut secara pribadi merupakan faktor risiko NHL, namun studi yang menelusuri keterkaitan ini memberikan hasil yang tidak konsisten. Untuk menyelidiki isu ini, Dr. Yawei Zhang dari Yale University, New Haven dan koleganya mengumpulkan data dari 4 publikasi studi 'kasus kontrol'.

Analisis mencakup 4.461 kasus pasien NHL dan 5.799 kontrol. Diantara wanita, 75% kasus dan 70% kontrol telah menggunakan pewarna rambut. Diantara pria, 10% kedua kasus dan kontrol melakukan hal yang sama.

Secara keseluruhan, ada 30% peningkatan risiko NHL pada wanita (tapi tidak pada pria) yang mulai menggunakan pewarna rambut sebelum tahun 1980, dibandingkan dengan bukan pengguna. Dalam kelompok ini, risiko peningkatan NHL subtipe leukimia limfositik kronik(CLL)/limfoma limfositik kecil (SLL) dan limfoma folikel, tapi tidak subtipe NHL lain.

Zhang dan koleganya melaporkan bahwa wanita yang mulai menggunakan pewarna rambut tahun 1980 dan setelahnya, peningkatan risiko limfoma folikel terbatas pada pengguna cat rambut hitam.

Laporan mengindikasikan peningkatan risiko CLL/SLL terlihat pada wanita Eropa, tapi tidak pada wanita Amerika, sedangkan peningkatan risiko limfoma folikel terlihat pada wanita Eropa dan Amerika.

Para peneliti mengingatkan bahwa penggunaan pewarna rambut secara pribadi dapat berperan dalam peningkatan risiko NHL, khususnya linfoma folikel dan CLL/SLL. Studi ini juga mengindikasikan risiko berkaitan dengan penggunaan pewarna rambut pribadi terutama diamati pada wanita yang mulai menggunakan pewarna rambut sebelum 1980, risiko ini terbatas hanya pada wanita ini. Studi lanjutan diperlukan untuk menguji risiko NHL pada periode penggunaan dan kerentanan genetika.

Tramadol untuk terapi depresi

Kalbe.co.id - Pasien depresi yang susah sekali diobati, akhir-akhir ini tidak jarang dilakukan pengobatan dengan menggunakan derivat opioid seperti oxycodone dan oxymorphine serta obat golongan agonis parsial buprenorphine, tetapi akhir-akhir ini pasien dengan keadaan tersebut menunjukkan perbaikan setelah diterapi dengan tramadol hydrochloride secara monoterapi.

Awalnya publikasi terhadap terapi tramadol untuk kasus depresi dilaporkan dari hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap laki-laki, usia 64 tahun yang didiagnosis dengan depresi mayor kronik sesuai dengan DSM IV dan gambaran klinis melankolik lebih terlihat pada pasien. Pada episode pertama ditemukan pada tahun 1984 dan didiagnosis pada tahun 1986 dan akhirnya mendapatkan terapi obat secara berturut-turut dari mulai trisiklik amitriptyline, amoxapine, bupropion, clomipramine, doxepin, fluoxetine, fluvoxamine, imipramine, maprotiline, mirtazapine, nefazodone, paroxetine, phenelzine, sertraline, tranylcypromine, dan venlafaxine. Selanjutnya juga gagal dengan terapi bupropion, lithium, dan methylphenidate.

Penambahan terapi antidepresan, dan beberapa terapi antiansietas yang pernah dicoba tidak menunjukkan efektivitas termasuk diantaranya alprazolam, buspirone, clonazepam, lorazepam dan temazepam. Tidak juga dengan terapi suportif seperti psikoterapi dan terapi dengan ECT pun gagal.

Pada tahun 1998, pasien tersebut mengalami nyeri pada wajah akibat sunbatan pada kelenjar saliva, dan mendapatkan terapi dengan Tramadol untuk nyerinya, dan tidak pada saat itu tidak diterapi dengan pengobatan depresinya.

Dan apa yang terjadi di luar dugaan, bahwa pengobatan tramadol, membuat perbaikan depresinya hingga 60% sampai 70%. Sejak saat itulah diberikan tramadol secara terus menerus dengan dosis 100mg, 3 – 4 kali sehari. Jika pasien bangun jam 4 pagi, pasien benar merasakan jauh dari rasa tertekan.

Analgesik tramadol mempunyai banyak kesamaan dengan karakteristik antidepresan golongan SNRI Venlafaxine. Struktur obat yang bekerja pada 2 reseptor baik serotonin maupun norefinefrin, bahkan dari beberapa pasien mengalami depresi kembali setelah menghentikan tramadol setelah beberapa tahun terapi. Pasien terlihat baik efeknya setelah diterapi dengan Venlafaxine, telah terlihat efek pula bahwa Tramadol mempunyai efek profilaksi depresi. Karena efeknya sama dengan Venlafaxine, tramadol mungkin mempunyai tingkatan efek sebagai antidepresan selain untuk nyeri yang kronik.

Untuk kasus ketergantungan opioid seperti methadone, buprenorphine, dan clonidine. Tramadol mempunyai efek analgetik sentral dengan aktivitas opioid ang sama dengan rendahnya afinitas komponen utamanya dan mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap ikatan terhadap metabolit O-demethylated untuk reseptor ยต opioid. Konsekuensinya, banyak yang bisa dijelaskan mengapa tramadol bisa digunakan untuk pasien putus obat opioid. Untuk itu dicobalah tramadol untuk terapi ketergantungan heroin yang tingkatannya moderat dengan uji klinik retrospektif kohort, yang dilakukan pada saat pasien menjalani program detoksifikasi pada sebuah RS, dimana jumlah yang ikut serta adalah 100 pecandu heroin yang masuk ke RS dan menjalani detoksifikasi selama beberapa periode, 64 pasien diterapi dengan buprenorphine atau tramadol, yang mana ikut serta, termasuk juga 20 pasien yang menggunakan buprenorphine dan 44 nya dengan tramadol. Dicocokkan juga untuk usia, seks dan hasil laporan secara kuantitas mengenai penggunaan heroin sehari-harinya. Ada kelompok yang menggunakan tramadol, nilai maksimum untuk pengukuran skalanya adalah 9,0, dan kelompok buprenorphine adalah 11,2 (P = 0,07). Pengguunaan clonidin oral perpasien pada kelompok tramadol adalah 1,6 tablet, dan buprenorphine adalah 0,1 tablet (P = 0,002). lamanya perawatan adalah 3,7 hari pada kelompok tramadol dan 4,1 untuk kelompok buprenorphine (P = 0,5). Peserta yang mendapatkan tramadok ada 4 orang telah mendapatkan 3 dosis atau lebih buprenorphine karena gejalanya tak terkontrol dan dinyatakan terapi gagal. Laporan preeliminari menunjukkan data bahwa mungkin tramadol sebanding dengan buprenorphine yang lebih besar lagi.

Ekstrak biji anggur dapat melawan alzheimer

Kalbe.co.id - Penelitian pada tikus mengungkapkan bahwa ekstrak biji anggur merah dalam sediaan minuman anggur merah, tanpa alkohol, dapat membantu melawan kehilangan memori akibat penyakit alzheimer.

Dr. Giulio maria Pasinetti dari Mount Sinai School of Medicine dan koleganya menemukan bahwa tikus yang mengalami perubahan otak seperti alzheimer menunjukkan funggsi kognitif lebih baik pada umur 11 bulan jika mereka diberikan ekstrak polifenol di dalam air minum mereka.

Senyawa polifenol merupakan antioksidan yang secara alami ditemukan di dalam anggur, teh cokelat dan beberapa sayuran dan buah. Tikusa dalam percobaan ini menerima kadar polifenol yang setara dengan polifenol pada manusia yang mengkonsumsi 1-2 gelas anggur (wine) sehari.

Sementara manfaat kesehatan yang sedang dari konsumsi anggur tidak begitu jelas, Passineti menjelaskan bahwa konsumsi sedang alkohol dalam bentuk anggur merah dapat menimbulkan komplikasi potensial bagi orang dengan penyakit metabolisme atau penyakit kardiovaskular.

Pasinetti dan tim menyelidiki apakah akstrak biji anggur yang dijual sebagai MegaNatural AZ dari polifenolics, suplier produk anggur berbasis di California, mungkin dapat mencegah berlanjutnya penyakit pada tikus. Polifenolics membantu mendanai penelitian ini.

Tikus menerima polifenol dengan jumlah setara 1 gram setiap hari pada manusia atau menerima air biasa. Setelah 5 bulan penanganan, ekstrak biji angggur yang dimakan mempunyai 30-50% lebih sedikit protein amiloid beta di dalam otak mereka. Protein amiloid beta merupakan tahap kunci dalam pembantukkan plak dan tangles di dalam otak penderita alheimer, sehingga pencegahannya dapat membantu memperlambat degenarasi otak.

Tikus yang ditangani dengan ekstrak juga menunjukkan performa lebih baik secara bermakna pada pengujian standar memori belajar spasial dibandingkan tikus yang tidka menerimanya. Namun, ekstrak tidak meningkatkan performa memalui jalan ruwet dalam tikus kontrol, yang menjelaskan bahwa hal ini memperbaiki fungsi kognitif dengan mengurangi kerusakan otak akibat pembentukan plak.

Semangka merupakan Viagra alami

Kalbe.co.id - Menurut sebuah studi oleh para peneliti di Texas A&M Fruit and Vegetable Improvement Center, semangka menghasilkan efek yang mirip dengan Viagra dan obat-obat lain yang digunakan untuk disfungsi ereksi.

Penelitian difokuskan pada dampak semangka terhadap tubuh. Ternyata, semangka mengandung sitrulina (citrulline). Sitrulina dalam semangka memproduksi asam amino yang disebut arginin, yang secara nyata membantu rileks dan membesarkan pembuluh darah. Suatu hal yang sama dengan Sildenafil citrat (Viagra) dan obat-obat sejenis.

Peneliti Texas A&M menyatakan bahwa mereka perlu melakukan lebih banyak riset sebelum dapat menggambarkan berapa banyak semangka yang harus dikonsumsi untuk mendapatkan hasil yang sama dengan Viagra.
Jadi berapa banyak semangka yang harus dimakan untuk mendapatkan hasil yang sama ? Ilmuwan Texas A&M menyatakan bahwa Anda perlu makan di atas 6 cangkir semangka setiap hari untuk mendapatkan hasil yang sama.

Penelitian ini menyebabkan banyak orang menyebut semangka sebagai Viagra alami.

Sarapan pagi banyak dan seimbang membantu penurunan berat

Kalbe.co.id - Menurut studi baru, memulai hari Anda dengan sarapan pagi yang banyak mengandung karbohidrat dan protein serta sepotong kecil cokelat dapat membantu mengurangi rasa lapar sepanjang hari, sehingga mengarah pada penurunan berat badan yang signifikan.

Penelitian baru yang dipresentasikan di pertemuan tahunan Endocrine Society, San Fransisco, Juni 2008 menemukan bahwa wanita obes kehilangan hampir 5 kali lipat beratnya pada diet makan pagi 'besar' dibandingkan wanita yang mengikuti diet tradisional, pantangan karbohidrat rendah.

Dr. Daniela Jakubowicz, seorang profesor klinis di Virginia Commonwealth University dan ahli endokrin di Hospital de Clinicas Caracas Venezuela mengatakan, "Kami mengangani orang obes dengan memberitahu mereka untuk kurangi makan dan olahraga lebih banyak, namun hal itu tidak memperhitungkan keinginan makan dan rasa lapar. Kami harus mengubah pendekatan dan menemukan diet yang dapat mengontrol keinginan makan dan rasa lapar.

Jakubowitcz menjelaskan bahwa ketika kita bangun di pagi hari, tubuh kita siap mencari makanan. Metabolisme kita meningkat, kadar kortisol dan adrenalin berada pada kadar puncaknya. Otak kita perlu energi segera dan jika kita tidak makan atau makan terlalu sedikit, otak akan mencari sumber energi pembakaran. Untuk itu, aktivitas sistem darurat menarik energi dari otot, menghancurkan jaringan otot dalam prosesnya. Lalu ketika kita makan selanjutnya, tubuh dan otak masih dalam keadaan siaga tinggi, sehingga tubuh menyimpan makanan sebagai lemak, lanjutnya.

Menurut Jakubowicz, kadar bahan kimia serotonin dalam otak tertinggi di pagi hari, yang berarti tingkat keinginan makan Anda terendah ketika bangun pagi dan Anda mungkin tidak punya keinginan makan. Namun, ketika menjelang siang, kadar serotonin meningkat dan Anda ingin makan cokelat atau kue dan sejenisnya. Jika Anda makan makanan ini, kadar serotonin meningkat dan tubuh Anda mulai merasa nyaman, menghasilkan siklus ketagihan.

Untuk melawan siklus ketagihan dan rasa lapar tampaknya tak terelakkan saat pengurangan kalori, Jakubowicz dan koleganya merancang diet 'sarapan besar'. Dalam rencana makan ini, 2 potong keju, 2 sediaan biji-bijian, 1 olahan lemak dan 1 ons coklat susu atau permen.

Protein tinggi, campuran karbohidrat memberi tubuh energi awal untuk kebutuhan di pagi hari. Selanjutnya pada siang hari, makanan yang mengandung protein dan karbohidrat kompleks, seperti sayuran. karena protein dicerna lebih pendek, Anda tidak merasa lapar.

Dalam studi pada 94 wanita obes dengan sindroma metabolik, setengah mereka yang diberi tahu untuk diet sarapan pagi besar yang mengandung sekitar 1.240 kalori, sedangkan yang lain makan setengahnya sekitar 1.085 kalori diet tinggi protein, karbohidrat rendah selama 8 bulan.

Pada akhir bulan ke-8, mereka yang diet lebih ketat karbohidrat rendah kehilangan rata-rata 4,1 kg. namun mereka yang diet sarapan 'besar' turun hampir 18,1 kg. Hal ini sebanding dengan penurunan indeks massa tubuh rata-rata 4,5% dari mereka yang diet karbohidrat rendah dan 21,3% penurunan rata-rata dari mereka yang sarapan pagi 'besar'.

Seorang ahli nutrisi Gery Brewster mengatakan bahwa dia pernah merekomendasikan sarapan pagi seimbang dan 'besar' pada semua kliennya, karena membantu menjaga kadar gula darah tetap stabil. Menurutnya, bila kita makan sarapan tradisional, seperti sereal atau donat, kadar gula dan insulin meningkat. Sekali kadar gula darah meningkat, Anda masih punya kelebihan insulin yang sirkulasi, yang membuat Anda lapar dan keinginan makan karbohidrat.

Studi kedua yang dipresentasikan di pertemuan menekankan ide bahwa perubahan biologis terjadi jika Anda kelebihan berat. Studi ini menemukan bahwa wanita yang kelebihan berat badan tidak mengalami penurunan kadar leptin setelah berolahraga seperti halnya wanita biasa lakukan. Leptin adalah hormon yang memainkan peran dalam regulasi dan metabolisme. Brewster mengatakan dirinya tidak terkejut dengan temuan ini, karena sekali tubuh kelebihan berat badan, ia akan mempertahankan ukuran tersebut. Sel-sel lemak menjadi sistem mini endokrin sendiri untuk mempertahankan obesitas dan menjaga kadar leptin meningkat tampaknya merupakan salah satu upaya tubuh melakukan hal itu.

Belimbing dapat menjadi racun bagi pasien ginjal

Kalbe.co.id - Banyak nasehat dari nenek moyang bahwa belimbing (star fruit) bisa menurunkan hipertensi. Sayangnya jika kita mengkonsumsi belimbing, bukannya tensi turun malah berbahaya.

Makan 1 biji atau 100 ml jus belimbing yang biasanya aman dapat menjadi racun bagi pasien ginjal dalam hitungan jam. Konsultan ginjal (nefrologist) Prof. Dr. Tan Si-Yen dari University Malaya Medical Centre (UMMC) mengatakan hal ini terjadi pada Tan Gon Seang, yang menderita penyakit ginjal. Warganegara malaysia berumur 66 tahun ini berada di Shenzen mengunjungi anaknya ketika meninggal pada tanggal 29 maret setelah makan belimbing dan dibawa ke Shenzen General Hospital dalam keadaan koma.

Menurut Prof. Tan, belimbing mengandung racun saraf, yang tidak ada di dalam buah lain, yang mempengaruhi otak dan saraf. pada orang dewasa sehat, ginjal menyaring dan membuangnya. Pada pasien ginjal, racun ini tidak dapat dibuang dan memperburuk keadaan ginjalnya. Lebih dari 10 pasien lain masuk rumah sakit menderita kondisi yang sama setelah mengkonsumsi belimbing. Dua diantara mereka meninggal.

Setelah penemuan berkaitan denga belimbing, Tang menjalani dialisis. Sepupunya, Teoh Thian Lye, 55 tahun, mengkonfirmasi bahwa Tang telah menjalani pengobatan masalah ginjalnya selama 3 tahun. Keluarganya meminta bantuan kepala MCA Public Compliants and Service Departement, Datuk Michael Chong untuk mengirimkan Tang kembali ke Malaysia karena kelurganya tidak dapat membiayai rumah sakit 1.000-2.000 ringgit malaysia (RM) per hari di ruang intensif.

Menurut Dr. Tan, masih sedikit kepedulian pada temuan yang relatif baru ini dan belum ada kasus secara lokal. Masyarakat harus hati-hati dengan rekasi dari buah belimbing. Amati gejala awalnya termasuk cegukan (tersedak), mati rasa dan kelelahan serta gejala-gejala neurologis seperti bingung, gelisah, epilepsi tiba-tiba, lanjutnya. Risiko kematiannya tinggi dan perlu penanganan agresif segera dengan hemodialisis harian.

Standar keamanan baru untuk susu formula bayi dan kacang

Kalbe.co.id - Para utusan di Genewa telah menyetujui batasan baru bakteri di dalam susu formula bayi dan racun alami dalam kacang, yang dijadikan standar keamanan untuk penajuan makanan yang dipasarkan secara internasional. Pada pertemuan the Codex Alimentarius Commsission, sebuah badan bersama antara WHO dan Food and Agriculture Organisation (FAO).

Peter Ben Embarek, ilmuwan dari divisi keamanan pangan WHO mengatakan bahwa adopsi penandaan praktek higienis untuk formula bubuk dapat menurunkan kontaminasi ari 2 bakteri yang dapat menyebabkan sakit parah dan kematian pada bayi.

Orang-orang dengan alergi gandum juga dilindungi oleh standar makanan bebas gluten dimana negara-negara memasukkan hal ini di dalam hukum negaranya dan dalam rangka memenuhi aturan WTO untuk makanan ekspornya. Negara harus menggunakan standar ini agar dapat menjualnya di pasar internasional.

Rujukan baru menyebutkan bahwa makanan bebas gluten tidak boleh mengandung gandum, rye, barley atau oats dan kadar glutennya tidak boleh melebihi 20 mg per kg. Intoleransi gluten dapat menyebabkan gejala bervariasi dari nyeri abdominal sampai osteoporosis.

Sebanyak 124 negara berpartisipasi dalam pertemuan Codex bulan Juli 2008 juga menyetujui kadar maskimum aflatoksin, sebuah toksin alami yang diketahui sebagai karsinogen di lab.

The Codex Alimentarius atau kode produk merupakan rujukan global bagi konsumen, penghasil produk, pemroses makanan, lembaga pengontrol makanan nasional dan pedagang makanan internasional. Standar ini berarti untuk mencegah kontaminasi, sakit, merupakan patokan negara-negara WTO berkaitan dengan persetujuan perdagangan internasional mengenai keamanan makanan dan sanitasi.

Komisi yang merangkap keanggotaan penuh dari 176 negara ditambah Uni Eropa juga melakukan diskusi dampak obat veteriner, pakan ternak dan pestisida terhadap keamanan pangan.

Examining Links Between AIDS And Climate Change

For that reason, several UN agencies, research institutes from Switzerland, India, South Africa and Canada as well as the International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies gathered to analyse the existing links between AIDS and climate change in a technical meeting held in Nyon, Switzerland, on 20 May 2008.

Furthermore, a joint position paper on AIDS and climate change was commissioned by UNEP and UNAIDS from the Australian National University in February 2008. This paper, whose findings where also discussed at the Nyon meeting, focuses on scientific issues,
identifying major, minor, and speculative pathways by which HIV and climate change are likely to interact.

Summary report from the Joint UNEP-UNAIDS meeting to review a position paper on HIV and AIDS and Climate Change A joint position paper on HIV and AIDS and Climate Change was commissioned by UNEP and UNAIDS in February 2008. The draft paper
prepared by three consultants from the Australian National University, Professor Tony McMichael, Dr. Colin Butler and Dr. Haylee Weaver, was reviewed in a technical meeting held in Nyon, Switzerland, on 20 May, 2008.

Several UN agencies, research institutes from Switzerland, India, South Africa and Canada as well as the International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies were represented at the meeting.

Described below are highlights of the main findings from the paper as well as resulting consensus on the way forward. HIV and AIDS and Climate Change are two of the most important "long wave" global issues of the recent past, the present and the future.
They share similarities, interactions, and present possibilities for a more united response. Yet, these links have received little analysis. This paper seeks to address that gap. It first focuses on scientific issues, identifying major, minor, and speculative pathways
by which HIV and climate change are likely to interact. These interactions are, here, called the HIV and Climate Change Complex (HACC).

The maximum impact of Climate Change is in the future, likely to occur decades after the peak incidence of HIV. The severity of the HACC will largely be determined by the temporal overlap of these ranges. The HACC will also have an uneven spatial distribution,
modified by the regional impact of Climate Change and the regional epidemiology of HIV, each of which varies by physical and social elements.

Populations with currently high rates of HIV are the most vulnerable to a worsening or prolongation of the epidemic due to climate change. This places the people of Sub-Saharan Africa (SSA) at the greatest risk of the HACC, though outside Africa populations, in north east India and New Guinea may also be significantly impacted.

There is agreement that the most important pathway in the HACC will be further deterioration of regional and global food security. At the individual level, nutrition is vital for good immune function, to reduce the risk of acquiring HIV if viral exposure does occur, and to slow the progression of HIV to AIDS, and of AIDS to death.

At larger scales, population nutrition is important for good governance, by helping to nurture and stimulate the "effective" demand populations need to reduce corruption and to more evenly distribute available resources. Any substantial decline in the availability and intake of calories or micronutrients brought about by Climate Change is likely to increase poverty, impair learning and expand the number of migrants. The current decline in global food
security, partly attributable to Climate Change, is already causing disproportionate nutritional harm to migrants and otherwise impoverished populations, some of whom
experience HIV and AIDS.

There is agreement that the second major pathway of the HACC is the Climate Change related alteration in the distribution of infectious diseases, which interact with HIV. Of these, malaria is the most important, due to its high burden of disease. Climate Change is
projected to reduce malaria transmission in some regions, which experience a comparatively low rate of HIV, both now and in the future.

This will reduce the beneficial impact to the burden of disease of HIV for these populations. On the other hand, a large population with a high rate of HIV lives on the plateaus of SSA, an area as yet little affected by malaria. If the climatic, eco-systemic and other
factors for malaria transmission alter sufficiently in these plateau cities, then the HIV burden of this population is likely to be substantially higher, and will also be worsened by increased poverty and greater food insecurity.

There are several other plausible biological pathways in the HACC. Of these, the relationship between Climate Change, air pollution and immunity, and Climate Change, heat stress and immunity are likely to be the most important.

More speculative is the possibility that Climate Change will harm infrastructure and governance on a scale sufficient to aggravate and prolong the burden of disease of HIV.
Again, the population of SSA is judged to be at the highest risk. This mechanism is plausible by interlinked pathways including more extreme weather events and "natural" disasters, increased mobility and additional migrants and refugees.

These factors are also likely to aggravate gender inequalities, increasing the frequency of transactional and coercive sex — pathways likely to increase the burden of disease of HIV among women and girls, via increased viral transmission and reduced access to
treatment and prevention. At the global level, Climate Change may exert an immense opportunity cost, diverting resources of the international community away from public health, including from HIV, poverty alleviation, and the other Millennium Development Goals
(MDGs).

Suggestions for a future research agenda include the more accurate assessment of the pathways within the HACC, and an improved conceptual understanding of the linkages between conflict, behaviour, governance and values, environmental factors including climate, and food production, and between each of these macro-elements and sea
level rise. This would be best done by an interdisciplinary working group.

Another research gap is the effect of Climate Change on human behavior, including behavior related directly to HIV risk. From science, the paper moves to strategies and policies. The struggle to address HIV and Climate Change has generated two vigorous
global social movements, with, as yet, little formal interaction or collaboration.

We suggest this gap is a microcosm of a separation between two even larger communities – those concerned with the environment and those concerned with social justice. Of course, this is a simplification, but on the whole our perception is that the environmental movement is insufficiently aware of poverty, while the social justice movement is still poorly informed
about the environment. The work, advocacy and activism of the leaders and actors within each community who do recognise these linkages will be strengthened by this report.

HIV has already killed tens of millions of people, while Climate Change may dwarf this number. Those concerned to reduce Climate Change can apply many lessons learned by the HIV community. These include the need to challenge conventions and to seek benefit
for the poorest and most marginalised; and to widen the Climate Change movement's emerging engagement with entrepreneurs, philanthropists and prominent personalities: tools instrumental in the growth of support for those with HIV. The HIV constituency can
benefit from the experience of humanitarian programmes, some of which already see HIV and Climate Change as cross-cutting issues.

Several actions to reduce the impact of Climate Change on HIV and AIDS are proposed.
These include the integration of HIV prevention and management into disaster management plans, particularly for populations in SSA, some of whom have already experienced extreme weather events.

Means to enhance global and regional food security, especially in SSA, are vital, and much more can be done. A quarter of the world's population is over-nourished, and a more equitable distribution of global food production will go far to defusing any future food
crisis, and is likely to improve health for both over and under-fed people. Malaria treatment and prevention in SSA can also be improved.

The Climate Change community might also consider strengthening the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) including formal links with agriculture, health and security.

Finally, a risk is perceived whereby a relatively privileged stratum of people and interests argue that issues of global health and global social justice must be put aside in the effort to pursue partial Climate Change adaptation.

This approach is highly dangerous for global health and global social cohesion. It would also likely to generate profound longer-term risks for currently privileged populations pursuing this strategy. A stronger alliance between the HIV and AIDS and Climate Change communities will help thwart the emergence of such a policy.

A focus on the interconnections between Climate Change, food security, HIV, health in general and the links between these and the MDGs is key to breaking out of this "either or" myopia. UNEP and UNAIDS are committed to carrying forward recommendations
resulting from the above. The draft position paper is currently being finalized, after which it
will be subjected to wider consultation to both encourage civil society engagement and expand the partnership between HIV and AIDS and Climate Change constituencies. In concurring that there is a link between Climate Change and HIV and AIDS, participants at the Nyon meeting clearly pointed out that this link needs to be understood better.

They also concurred that this process of taking forward the research agenda should be spearheaded by the Health Economics and HIV and AIDS Research Division (HEARD) at the University of KwaZulu-Natal, South Africa, supported by the partnering Department of Geography and Environmental Studies, Carleton University, Canada, and the National
Centre for Epidemiology and Population Health, Australian National University.

The UN will continue to play an integral role in all of this through partnership development and by participation in various forums related to the research agenda.

Source : Elizabeth Swanti
Society of Indonesian Health Journalist


Redaksi Idionline

Peranan Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia

Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta berkerjasama dengan Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) dan Society of Indonesian Health Journalist, melaksanakan acara temu wartawan pada tanggal 18 Juli 2008 di rumah makan Omah Sendok membicarakan seputar *peranan JOTHI dalam melakukan perubahan untuk mencapai keadilan.* Dengan narasumber; Dr. Fonny J. Silfanus mkes – Deputi Program Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Iman Permana – Pengurus JOTHI dan perwakilan dari Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Pada saat ini masih dirasakan oleh orang terinfeksi HIV masih rendahnya akses kesehatan (kuantitas dan kualitas) baik dari segi sarana dan prasarana (termasuk sering terhentinya ketersediaan dan distribusi ARV); penolakan terhadap pasien HIV di Rumah Sakit – Rumah Sakit; penyangkalan hak untuk mendapat pekerjaan yang layak (juga secara layak); penyangkalan terhadap asuransi kesehatan; lemahnya program – program penanggulangan AIDS oleh lembaga donor; belum adanya sinergi program dan pendanaan; lemahnya kendali hukum dalam membela posisi orang terinfeksi HIV; pemanfaatan kelompok orang terinfeksi HIV sebagai alat untuk mendapatkan pendanaan oleh LSM; sistim penjara yang tidak men-akomodir Kesehatan yang intinya menambah kontribusi terhadap jumlah infeksi baru ; serta masih banyak lagi masalah terkait yang
memerlukan suara orang terinfeksi HIV agar dapat menentukan arah penangulangan AIDS.

Pada awal tahun 2006, Pemerintah Indonesia telah lebih dahulu merespon kenyataan pentingnya pelibatan orang terinfeksi HIV melalui Perpres No.75/2006 yang menjelaskan bahwa Jaringan Nasional orang terinfeksi HIV sebagai anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Sampai akhir 2006 belum ada jaringan yang dibutuhkan untuk mengisi tempat tersebut.

Menurut dr. Fonny, "Sesuai dengan didalam PERMENDDAGRI no 20 th 2007 tentang
penanggulangan AIDS di daerah dan pemberdayaan masyarakat. Untuk merealisasikan kegiatan tersebut KPAN menyiapkan anggaran yg bersumber dari APBN dan Bantuan Luar Negeri untuk mendukung program pemberdayaan masyarakat"

Iman Permana menjelaskan, "Jaringan ini sudah sangat lama dipersiapkan selama kurang lebih 2 tahun terakhir. Sesuai dengan visi kami yakni penegakan HAM untuk orang yang terinfeksi HIV tanpa stigma dan diskriminasi maka dapat secara jelas dilihat fokus kegiatan kami adalah melakukan upaya upaya advokasi dengan adanya perlibatan orang yang terinfeksi HIV secara langsung dan intens"

Pada awal 2007 dibentuklah tim yang berjumlah 15 orang untuk dapat menghantarkan terbentuknya jaringan nasional orang terinfeksi HIV Indonesia. Jaringan ini akan berfungsi meningkatkan upaya pelibatan orang terinfeksi HIV secara lebih bermakna dalam penanggulangan AIDS.

Iman menambahkan."Maka untuk terealisasinya tujuan tersebut maka kami menyadari menjalin kemitraan secara taktis dan strategis dengan pihak – pihak lain dalam penanggulangan HIV dapat membantu untuk hasil yang ideal. Termasuk dalam hal ini adalah Komisi Penanggulangan AIDS."

Melalui musyawarah nasional yang berlangsung di Jakarta pada tgl 8-10 Juli 2008, pada tgl 9 Juli 2008, dihadiri oleh 124 orang terinfeksi HIV dari 27 propinsi,JOTHI resmi berdiri dan siap membantu orang yang terinksi HIV di Indonesia.


*Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta*. Sebuah organisasi non struktural yang dipimpin oleh Wakil Gubernur Prov. DKI Jakarta selaku Ketua KPA Provinsi. *Visi*; Jakarta Sehat Terhindar HIV/AIDS. *Misi*; Pelayanan profesional, manusiawi, efektif dan efisien dengan azas keterpaduan dan kemitraan. Meningkatkan ketahanan keluarga dan masyarakat. Memberdayakan kelompok resiko tinggi tertular HIV.*Tujuan*; Terkendalinya kasus IMS & HIV/AIDS. Terselenggaranya aktifitas penanggulangan HIV/AIDS yang profesional, terjangkau, menyeluruh dan merata. Terpadunya upaya penanggulangan IMS & HIV/AIDS.

--
Elizabeth Swanti
Society of Indonesian Health Journalist


Redaksi Idionline

Profil Keamanan Terapi Statin

Semua pengaruh menguntungkan ini dikarenakan kemampuan statin dalam menurunkan kadar LDL (low-density lipoprotein). Bahkan dalam sebuah penelitian, pasien anak dan remaja dengan hiperkolesterolemia familial yang diterapi dengan obat golongan statin, pemberian terapi statin terjadi penghambatan progresifitas penebalan intima pembuluh darah, sehingga pemberian statin pada pasien-pasien ini dapat mencegah arterosklerosis pada masa dewasa.

Enam obat statin sekarang tersedia di pasaran dunia: lovastatin, simvastatin, pravastatin, fluvastatin, atorvastatin, and rosuvastatin, sedangkan pitavastatin tersedia di India dan Jepang.

Karena penggunaan statin diperkirakan akan terus meningkat karena peningkatan kejadian hiperlipidemia dan efek pleiotropik yang menguntungkan, maka keamanan dan tolerabilitas pasien sangatlah penting.

Sebuah penelitian meta analisis dilakukan untuk mengetahui efek statin terhadap kematian, kejadian vaskular serta keamanan statin pada pasien usia lanjut. Hasil meta analisis dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan bahwa terapi menggunakan statin bermakna menurunkan kematian karena semua sebab dan kematian karena kardiovaskular dan relatif aman diberikan pada pasien usia lanjut.

Sebuah penelitian lain dilakukan oleh Dr Jane Armitage dari University of Oxford, Inggris untuk menguji keamanan obat-obat golongan statin. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukannya adalah bahwa obat-obat golongan statin ditoleransi dengan baik. Efek samping yang sering dibicarakan seperti miopati dan rabdomiolisis jarang terjadi bila dosis yang digunakan adalah dosis standar yang dianjurkan. Dr Jane mengatakan bahwa walaupun ada beberapa keberatan mengenai pernyataan ini, namun apabila dosis yang diberikan sesuai dengan anjuran, obat-obat golongan statin merupakan obat yang relatif aman. Hasil penelitian oleh dr. Jane ini dipublikasikan dalam The Lancet bulan Juni 2008.

Dr Jane Armitage dan rekan melakukan penelitian terhadap data-data penelitian yang dipublikasikan dari tahun 1985 hingga 2006 mengenai efektifitas, efek samping dan keamanan obat golongan statin. Hasil dari penelitain yang dilakukan dr. Jane memperlihatkan efektifitas statin dalam menurunkan angka kejadian kematian karena kardiovaskular, infark miokard tidak fatal, stroke dan menurunkan perlunya revaskularisasi. Sedangkan efek samping yang sering terjadi dalam penelitian adalah toksisitas pada otot, diantaranya miopati dan rabdomiolisis, dan gangguan enzim pencernaan.

Semua obat golongan statin dapat menyebabkan miopati, yang dapat berkembang menjadi rabdomiolisis. Namun angka kejadian miopati kurang dari 1 per 10.000 pasien dengan penggunaan dosis standar statin. Risiko miopati meningkat seiring dengan peningkatan dosis, namun risiko ini tetap rendah dengan atorvastatin 80 mg. Selain itu diketahui bahwa miopati dan rabdomiolisis ini biasanya terjadi bila obat-obat statin digunakan bersamaan dengan obat lainnya, seperti golongan fibrat.

Dr. Jane mengatakan bahwa nyeri otot sering terjadi pada pasien paruh baya dan kalau pasien tersebut diterapi dengan statin, statinlah yang biasanya dipersalahkan menjadi penyebab nyeri ini. Pemeriksaan menggunakan kreatinin kinase pada pasien-pasien tersebut dapat menyingkirkan adanya miopati dan terapi statin dapat diteruskan.

Peningkatan enzim transaminase secara umum terlihat pada 6 bulan pertama terapi. Biasanya peningkatan enzim transaminase tidak disertai dengan gejala. Peningkatan enzim transaminase ini reversibel bila terapi dihentikan atau dosis dikurangi. Peningkatan enzim tergantung dari dosis dan tidak ada bukti kuat mengenai hubungan antara peningkatan enzim yang terjadi dengan kerusakan hati (hepatitis atau gagal hati).

Pemeriksaan hati rutin tidak lagi direkomendasikan dengan penggunaan simvastatin, pravastatin, atau lovastatin hingga dosis 40 mg sehari, namun tetap direkomendasikan pada penggunaan statin lainnya. Kalau enzim pencernaan meningkat 3 kali lipat dibandingkan dengan kadar enzime pada orang normal yang tidak mengalami gangguan hati, enzim pencernaan harus dipantau selama 1 minggu. Kalau enzim alanin transaminase tetap tidak menurun, statin harus dihentikan sementara. Peningkatan enzim pencernaan 2-3 kali dari batas normal orang sehat memerlukkan pemantauan, namun biasanya peningkatannya akan berkurang sedikit demi sedikit selama perjalanan terapi.

Walau sudah digunakan sejak lama dan ada telah diketahui efek menguntungkan statin terhadap kardiovaskular dan keamanannya pada usia lanjut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila memberikan statin pada pasien tertentu.

Dan walaupun statin diketahui relatif aman pada pasien usia lanjut, penyesuaian dosis perlu dilakukan pada pasien usia lanjut. Pada beberapa penelitian yang melibatkan pasien yang lebih tua dari 80 tahun diperkirakan terjadi peningkatan risiko miopati.

Dilanjutkan pula bahwa pasien yang menerima terapi warfarin perlu menyesuaikan dosis warfarinnya pada awal dan akhir terapi menggunakan statin.

Sumber : www.kalbe.co.id

Perbatasan RI-PNG Rentan Penyebaran HIV/AIDS

"Sebagai sebuah wilayah perbatasan dengan tingkat mobilitas penduduk antarnegara yang tinggi, masyarakat yang bermukim di wilayah ini kini terancam punah akibat penyebaran HIV/AIDS yang signifikan," ungkap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Boven Digoel, Titus Tambaip, M.Kes di Tanah Merah, Rabu (30/7).

Dia mengatakan, hampir setiap hari masyarakat di perbatasan RI-PNG saling melintas batas untuk berbagai urusan, baik urusan adat karena mereka memiliki pertalian kekerabatan juga urusan perdagangan jual-beli kebutuhan sehari-hari dan hasil bumi serta urusan pertanian dan perkebunan.

Mobilitas masyarakat yang melintasi perbatasan ini disertai penyebaran HIV/AIDS semakin hari semakin tinggi, selain karena tingkat pendidikan masyarakat masih sangat rendah sehingga kurang memahami secara baik persoalan hidup bersih dan sehat juga karena keterbatasan informasi mengenai penyakit yang mematikan itu.

HIV/AIDS justru menyebar sangat luas dan cepat di wilayah perkampungan terpencil dan terisolasi di sepanjang tapal batas kedua negara ini karena masyarakat setempat sangat kurang, malahan samasekali tidak mendapatkan informasi yang jelas dan komprehensif tentang penyakit itu.

Bersamaan dengan itu, masyarakat pun belum terbiasa dengan pola hidup bersih dan sehat. Selain tersebar di wilayah perbatasan RI dengan PNG, HIV/AIDS pun menyebar di wilayah perusahaan pengolahan kayu dan perkebunan kelapa sawit.

"Di lokasi perusahaan kayu dan perkebunan kelapa sawit yang dikelola PT Korindo, terdapat banyak sekali karyawan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Di dalam situasi kehidupan yang jauh dari keramaian dan hiburan kota serta jauh dari keluarga, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi transaksi seks bebas yang berujung pada terjangkitnya penyakit HIV/AIDS di daerah ini," katanya.

Di dalam situasi yang serba sulit ini, lanjut Titus Tambaip, pemerintah Kabupaten Boven Digoel terus berupaya dengan kemampuan yang ada untuk mengatasi persoalan kemanusiaan ini namun patut diakui bahwa pemerintah masih mengalami keterbatasan dana sosialisasi bahaya HIV/AIDS, keterbatasan tenaga medis dan belum tersentuhnya kegiatan penyuluhan HIV/AIDS oleh LSM peduli masalah kemanusiaan ini.

"Kalau kita teliti secara baik maka dapat kita katakana bahwa belum ada LSM peduli AIDS yang masuk sampai ke wilayah tapal batas RI dengan PNG khususnya di Kabupaten Boven Digoel untuk membantu menangani bahaya HIV/AIDS," katanya.

Selain HIV/AIDS, dua penyakit lain yang juga menjadi ancaman kehidupan masyarakat Boven Digoel yang jumlah pengidapnya semakin banyak adalah malaria dan penyakit kaki gajah (Filariasis).

Di Kabupaten Boven Digoel sendiri terdapat 15 Puskesmas dan satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan 20 dokter umum dan lima dokter gigi. Jumlah kasus HIV-AIDS di Provinsi Papua tercatat terus meningkat.

Data Dinas Kesehatan Provinsi Papua Triwulan III, per 30 September 2007 melaporkan jumlah 3.434 kasus. HIV sebanyak 1.964 kasus dan AIDS 1.470 kasus. Sebanyak 322 atau 9,38% sudah meninggal.

Satu hal yang mengkhawatirkan adalah kasus HIV-AIDS terbanyak justru pada kelompok usia produktif (15-39 tahun) yaitu usia yang seksual aktif sekitar 78,8 persen. Kasus HIV-AIDS tertinggi terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 1.548 kasus, kelompok umur 30-39 tahun 884 kasus dan kelompok umur 39-49 tahun 285 kasus. Fakta ini memiliki korelasi kuat ancaman masa depan bagi Papua.

Epidemi HIV-AIDS di Tanah Papua sesungguhnya menyebar pada populasi umum (generalized epidemic). Apalagi, lebih dari 90 persen penyebarannya terjadi hubungan seks tidak aman. Kondom selama ini diyakini merupakan alat ampuh menghambat penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV. Meskipun demikian, ternyata tingkat penggunaan kondom di Indonesia termasuk di Tanah Papua masih dinilai sangat minim.

Rendahnya tingkat penggunaan kondom antara lain karena lingkungan sosial yang kurang mendukung penggunaan kondom sehingga stigma terhadap kondom tak kunjung hilang. Pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat kondom pun masih kurang, serta rendahnya kesadaran akan pentingnya penggunaan kondom bagi kesehatan pribadi dan pasangan.

Sumber : KCM

Kita Sehat Dan Bugar Dalam Melaksanakan Ibadah Haji

Seorang muslim memiliki kewajiban melaksanakan ibadah haji minimal sekali dalam seumur hidup. Setiap tahunnya sekitar 200.000 orang dari seluruh penjuru dunia melakukan migrasi massal menuju tanah haram demi mengharap ridha Alloh SWT semata. Jamaah haji dari Indonesia selalu menjadi pemegang rekor tetap kuota jamaah haji terbanyak di dunia. Sayangnya, persiapan kesehatan calon jamaah sebagian besar terabaikan, hingga akibatnya angka morbiditas dan mortalitas jamaah di Arab senantiasa mengkhawatirkan. Demikian dikatakan Dr. Iris Rengganis dalam acara simposium “Tips Sehat dan Bugar dalam melaksanakan Ibadah Haji” yang diselenggarakan pada 17 Juli di FKUI Jakarta.
Dr. Iris melaporkan kebanyakan dari jamaah haji itu dari segi umur rata-rata usia diatas 60 tahun. Dari usia tersebut Calon Jemaah Haji (CJH) kebanyakan mengalami berbagai penyakit yang berisiko tinggi seperti penyakit kardiovaskular, penyakit kronik , DM, Liver dll.
Dr. Iris mengingatkan, bahwa seringnya Calon Jemaah Haji (CJH) membawa penyakit yang menular dari tanah air, seperti influenza, meningitis, TBC aktif dan sehingga sesampainya di Tanah Suci akan mengakibatkan penularan kepada banyak orang. Terutama pada penyakit yang membahayakan seperti TBC aktif tadi. “Oleh karena itulah perlu pencegahan sejak dini yaitu pencegahan ketika hendak berangkat seharusnya diberikan vaksinasi dahulu atau penyakit yang membahayakan harus ditunda keberangkatannya,” ujar Dr. Iris.
Melihat dari pola musim di Arab Saudi untuk haji tahun ini jatuh pada musim dingin. Diperkirakan suhu di antara tiga kota seperti Jeddah suhunya diantara 190 C, Makkah sekitar 140 C dan Madinnah pada malam hari bisa sekitar 40 C.
Pada musim dingin di Arab Saudi para calon haji sering terjadi hilang rasa atau baal daerah tungkai dan tangan, nyeri atau sakit hebat pada otot, kulit bersisik dna gatal, kulit telapak kaki dan bibir peceh-pecah, Bengkak dan kebiruan pada kulit. Rasa kaku atau beku daerah telinga, hidung, pipi, jari tangan, bahu, lengan atas atau bawah dan paha, serta dehidrasi karena kurang minum.
Vaksinasi
Pemberian vaksinasi sangat perlu diberikan kepada calon jemaah haji, dianjurkan oleh Dr. Iris, agar pemberian vaksin disuntik di area deltoid atau glutea dengan dosis tunggal 0,5 nl subkutan. Waktu pemberian sebaiknya diberikan dua minggu sebelum tiba di Arab Saudi. Sehingga antibody akan terbentuk 2 minggu setelah penyuntikan.
Mengatur haid
Saat ibadah haji, jadwal menstruasi (haid) menjadi persoalan tersendiri bagi jamaah perempuan. Berbagai upaya dilakukan kaum perempuan untuk mengatur datangnya haid. Karena Ibadah haji terikat pada waktu tertentu. Tidak bisa ditunda atau dimajukan waktunya. Bagi jamaah perempuan, hal itu bukan perkara mudah. Terutama jika pelaksanaan rukun haji di Arab Saudi tersebut bertepatan dengan hari-hari datangnya haid.
Dengan kata lain, jika jamaah haji perempuan "datang bulan" pada saat harus menjalankan rukun haji (wajib), ibadahnya tidak sah. Konsekuensinya, hajinya batal dan harus diulang pada musim haji berikutnya. Padahal, tidak semua kaum perempuan mampu secara finansial untuk kembali berhaji pada musim haji tahun berikutnya. Kalau sudah demikian, perjalanan menunaikan ibadah haji menjadi sia-sia.
Karena itu, mengatur masa-masa haid, memajukan atau menunda haid selama pelaksanaan ibadah haji, sangat diperlukan, terutama jika haid terjadi saat puncak pelaksanaan ibadah haji.
Mengapa perlu obat pengatur haid saat menunaikan ibadah haji? DR. Dr. Dwiana Ocviyanti, SpOG (K) mengatakan, karena saat menunaikan ibadah haji perempuan yang sedang haid dilarang melakukan kegiata seperti Thawaf, shalat wajib atau sunnah, berdiam di masjid dan memegang dan membaca al qur’an.
Menurut Dr. Dwiana, yang perlu dilakukan bila merencanakan mengatur haid adalah, pertama periksakan diri ke dokter sesegera mungkin, upayakan jangan kurang dari satu bulan sebelum tanggal keberangkatan. Kedua, dokter akan melakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya kelainan pada organ reproduksi atau kondisi lain yang dapat menimbulkan komplikasi bila diperlukan obat pengatur haid. Ketiga dokter dapat merencanakan pemberian obat pengatur haid yang paling sesuai dengan kondisi kesehatan.
Mengandung progesterone
Untuk memilih obat pengatur haid, Dr. Dwiana menyarankan, sebaiknya obat yang mengandung progesterone dengan ciri pil yang sama dimakan setiap hari, umumnya berbentuk pil satuan dalam kemasan biasa. Dapat berupa pil KB untuk ibu menyusui dalam bentuk kemasan untuk 28 hari dengan jenis pil yang sama.
Dr. Dwiana mengingatkan, yang perlu dipaerhatikan sebelum penggunaan obat pengatur haid adalah riwayat sakit kepala hebat atau migraine, riwayat tromboflebitis atau tromboemboli, varises berat, kanker payudara, perdarahan dari vagina yang belum diketahui penyebabnya dan penyakit hari atau gangguan fungsi hati. Riwayat penyakit kuning dan riwayat preklampsi dalam kehamilan. Penyakit jantung dan pembuluh darah. Kencing manisatau diabetes yang berkomplikasi, hipertensi berat, penggunaan obat-obat rutin terutama obat TBC dan kencing manis dan riwayat depresi atau gangguan kejiwaan.
Perlu diingat pula, adalah gangguan yang dapat muncul pada penggunaan obat pengatur haid adalah rasa mual, muntah, sakit kepala dan nyeri payudara umumnya hanya pada penggunaan pil kombinasi yang mengandung hormone estrogen. Perdarahan bercak lebih sering pada penggunaan obat pil yang mengandung progesterone saja. Peningkatan berat badan, hindari konsumsi makanan tinggi kalori yang berlebihan.
Apabila jemaah haji ingin menunda haidnya, disarankan dapat menggunakan pil progesterone saja atau pil kombinasi. Pada penggunaan pil kombinasi yang digunakan hanya pil aktif, pil placebo tidak dimakan atau dibuang. Paling ideal pul mulai digunakan pada hari kedua hingga kelima haid, atau selambat-lambatnya 14 hari sebelum hari pertama haid yang ingin ditunda. Pil dihentikan segera setelah penundaan haid tidak diperlukan, dan haid akan datang 2-3 hari setelah pil dihentikan.
Perlu diingat pula, dapat digunakan bagi mereka yang siklus haidnya tidak teratur dan paling baik bila dimulai 3 hingga 6 bulan sebelum tanggal keberangkatan.
Persiapan fisik
Sementara itu Dr. Tri Juli Edi Tarigan menyarankan, untuk mempersiapkan fisik pada calon jemaah haji yang perlu diperhatikan adalah sebaiknya calon jemaah haji sebelum berangkat kurang lebih 1 bulan, maka memperbanyak jalan kaki minimal 3 x seminggu. Kemudian kenali penyakit kronik yang dimiliki. Pakaian dingin termasuk sarung tangan dan kaus kaki dan pelembab kulit. Tidak perlu bawa barang banyak-banyak.
Dr. Edi menyebutkan ada tips untuk pemilik penyakit kronik yaitu: terbuka pada saat pemeriksaan oleh dokter ditanah air, membawa dan meneruskan obat-obatan yang sedang dikonsumsi, selalu dekat dengan dokter kloter, traveling dialysis harus selalu dibawa dan segera lapor ke dokter sector, Untuk diabetisi pemakai insulin. Lebih baik jika membawa glukometer, utamakan aktifitas wajib dan hindari keramaian.
Dr. Edi juga menyarankan, untuk menghindari mimisan, dianjurkan selalu memakai masker kain yang dibasahi dengan air zamzam. Minum yang banyak, jus buah, makan buah dan sayuran. Mengkonsumsi vitamin dan jangan mengkorek-korek hidung.
Apabila calon jemaah haji keluar dari penginapan di siang hari, sebaiknya upayakan jangan terkena sinar matahari langsung. Gunakan pelembab kulit dan bibir setelah mandi. Gunakan sabun yang soft. Gunakan kaca mata hitam di siang hari.